Rabu, 13 April 2011

< Sketsa Kehidupan: Impian Semusim bag. I&II >>


Kupandangi mawar-mawar putih di sudut beranda. Tertata apik dan
penuh pesona. Tanaman yang kau rawat dengan kesungguhan dan cinta.
Kilauan embun yang terkena sinar mentari membuat mawar-mawar putih itu
makin indah dan anggun seperti dirimu, bidadariku.

  “Kemarilah, Kak. Lihatlah. Cantik sekali, bukan?! Katamu waktu itu,
membanggakan mawar-mawarmu. Aku tersenyum. Kudekati dan kupeluk engkau
dari belakang.

  “Engkau jauh lebih cantik daripada beribu mawar yang berkilauan,
sayaaaang.…” lembut kuberbisik di telinganya.

  Secepat angin engkau membalikkan badan. Kedua tanganmu memegang
pipiku, perlahan kau pejamkan matamu. Kupandangi kau lekat-lekat.
Tiba-tiba kau belalakkan mata indahmu dengan jenaka.

  “Terima kasih untuk rayuan pulau Seribunya, Kak.”

  Aku benar-benar gemas dibuatnya. Kucubit hidungnya. Bukannya marah,
engkau justru semakin menggodaku. Matamu mengerjap-ngerjap manja.
Seperti kerlip kejora yang membiaskan sinarnya hingga ke lubuk hatiku.

  Andai saja kau masih di sisiku saat ini, adek. Sedang apakah engkau
di sana? Apakah engkau kini sedang menungguku dalam taman bunga di
antara berjuta mawar yang semerbak harum mempesona? Ataukah kini
engkau sedang bermain, bercengkerama dengan buah hati kita dan para
bidadari surga?

  Memilikimu adalah anugerah terindah bagiku. Seorang wanita cantik
beralis tebal dan bermata sebening telaga. Mata yang mampu menyihirku
dengan sorot teduhnya. Perangaimu pun sangat menawan. Lemah lembut dan
halus dalam bertutur kata. Sungguh sangat sempurna. Kecantikan raga
dan kecemerlangan otak yang membalut indahnya jiwa. Engkaulah
bidadariku, adek. Bidadari yang Allah kirimkan untukku. Impian yang
selalu ada di benakku, yang termohon dalam setiap doaku dulu. Impian
yang ternyata hanya semusim kulalui bersamamu.

  Seperti rangkaian slide, otakku memutar kembali peristiwa-peristiwa
bersamamu.

  “Semoga aku bisa menjadi istri yang sempurna untukmu, Kakak. Juga
mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kita kelak. Mohon
bimbingannya, Kak.”

  Kucium keningmu dan kupeluk engkau erat. “Aamiin. Insya Allah, Dek.
Akan kulakukan yang terbaik untukmu, sebisaku, semampuku.”  kataku
dalam hati.

  Terbayang betapa bingungnya aku ketika engkau sakit. Berhari-hari
engkau mual dan hendak muntah. Aku kira maagmu kambuh  atau asam
lambungmu kembali mengganggu  karena kebiasaan makan pedas yang paling
sulit engkau bendung. Ternyata aku keliru. Betapa bahagianya waktu
kutahu bahwa ada benihku yang bertumbuh di rahimmu. “Subhanallah,
Alhamdulillah, Allahu Akbar.”  Pekikku saat itu. Aku langsung sujud
syukur begitu mengetahui berita kehamilanmu.

  Sejak saat itu aku menjadi suami yang sangat-sangat protektif.
Berbagai macam buku tentang kehamilan pun mendadak menjadi bacaan
favoritku. Engkau begitu pengertian dengan segala perubahanku. Tak
sedikit pun kau tampakkan ketidaknyamanan karena sikap tegas dan
kerasku.

  Pernah suatu kali kau katakan, “ Kakak, aku sangat bahagia.
Merasakan perhatian dan kasih sayangmu. Menikmati peranku sebagai
istri dan ibu dari calon jundullah kita. Tahukah engkau, Kakak? Aku
sangat senang katika kau mencium perutku dan melantunkan ayat-ayat
suci untuk janin di dalamnya. Tahukah juga, Kakak… waktu aku harus
minum susu padahal aku sangat tak menyukainya? Aku menahan napas,
dalam tiap tegukan, aku pejamkan mata dan bayangkan engkau tersenyum
padaku.”

~~@~~

  Pagi itu kau tampak begitu segar dengan gamis hijaumu. “Kakak,
nanti pulangnya jangan sampai  larut malam ya. Habis Isya, aku harus
kontrol ke dokter kandungan.” pesanmu padaku sambil kau pasangkan dasi
di kerah bajuku.

  “Iya, adek sayaaaang. Insya Allah Kakak usahakan seawal mungkin.
Kalau perlu ,hari ini Kakak cuti aja ya.”

  “Ga usah, Kak. Periksanya kan masih ntar malam. Kerja pun suatu
amanah yang harus Kakak lakukan sebaik mungkin.” Senyummu begitu
manis, membuatku tak hanya ingin bersamamu sepanjang hari ini tapi
juga setiap waktu di sampingmu.

  Langit  belum lagi gelap. Semburat merah saga menghias senja yang
indah. Tak seperti sebelumnya, hari itu aku berhasil pulang lebih
awal. Kulihat engkau di beranda bersama mawar-mawar putihmu. Wajahmu
tampak lain dibanding biasanya. Terlihat bersinar memancarkan
kecantikan yang sempurna. Engkau tampak sangat anggun dalam balutan
gaun putih tulang yang melambai tertiup angin senja.

  “Subhanallah, cantik nian istriku ini.” gumamku dalam hati.

  “Assalamu’alaykum, Adek…”

  “Wa’alaykum salam, Kakak….” engkau tersenyum manis. Penuh takzim
kau cium tanganku.

  Kucium pipinya.  “Cantik sekali, Dek.”

  “Terima Kasih Kakak. Semua ini untukmu.” Bagai seteguk air di
gersangnya gurun. Terasa hilang segala penatku.

  Aku merasa menjadi suami yang paling bahagia. Hidupku berlimpah
cinta dan diperlakukan bak seorang raja.

  “Kakak, maaf kalau kopinya kurang manis.”

  “Tanpa gula pun akan berasa manis jika aku meminumnya sambil
melihatmu, sayang.”

  “Iiiihhhhh, Kakak! Apa-apaan sih.” dengan wajah pura-pura cemberut
kau cubit pinggangku .

  “Kak… Adek minta maaf jika selama ini belum bisa berlaku sebagai
istri yang baik.”

  Lembut kutarik tubuhmu dan kududukkan di pangkuanku. “Engkau tlah
memberiku segalanya, memberi lebih dari yang aku minta. Dan nanti jika
buah hati kita telah lahir, dia akan makin menyemarakkan dan
memperindah hidup kita.”

  Kulihat kepedihan di matanya. Kesedihan yang tak biasa. Tertumpah
air mata meski tanpa kata. Kuseka buliran bening yang menetes di
pipimu.  “Adek, jangan bersedih dooooong. Ada apa sebenarnya? Coba
ceritakan ke Kakak.”

  Engkau mencoba tersenyum. Lagi-lagi tanpa kata. Ada sesuatu yang
terasa begitu dingin menelusup hatiku. Dingin yang menusuk, perih tapi
entah apa, aku sendiri tak tahu.

  “Kakak… Ke luar bentar yuk. Kayaknya dah lama ga jalan-jalan
petang. Sekalian nikmati senja.”

  “Boleh tapi bentar aja ya. Dah mo Maghrib dan lagi, Adek harus jaga
kesehatan. Jangan sampai kecapekan. Usia kandungannya masih empat
bulan. Harus dijaga benar-benar.” Aku berusaha menuruti permintaanya
supaya kesedihan itu lekas berlalu dari wajahnya.

  “Iya, Kakak. Terima kasih banyak ya.” engkau kembali tersenyum.
Kurasakan sesuatu bergejolak di hatiku. Entah mengapa aku merasa
begitu takut kehilanganmu. Kutepis jauh-jauh perasaanku.

  Kudekap engkau erat,“Adek, aku sangat mencintaimu.’ Tak terasa
mataku berkaca-kaca.

  “Aku juga Kak, Insya Allah selamanya meski maut memisahkan kita.”
suaramu bergetar penuh kepedihan.

  Kulepaskan dekapanku,” Sudah Adek, kok jadi bicara seperti itu. Ayo
jalan-jalan, ntar keburu gelap.”

  Senja masih memerah. Langit pun masih tampak sibuk. Burung-burung
kecil beterbangan kembali ke sarangnya, ramaikan suasana senja.
Tanganmu bergelayut erat di lenganku, seakan tak hendak lepas dan
enggan jauh dariku.

  “Kakak, saya ke super market seberang ya. Cuma bentar. Pengen beli
es  krim. Kakak tunggu aja di sini, ok?!”  matamu tlah kembali
berbinar.

  “Engga ah, Kakak mo ikut.”

  “Kakaaaaaaaak… Cuma sebentar, kayak mo ditinggal ke mana aja, sih.”
engkau tersenyum sambil mengerlingkan matamu.

  “Iya deh, tapi hati-hati ya.”

  “Iya Kakak sayaaaaaang.”

  Kuperhatikan engkau menyeberang jalan hingga masuk ke super market
itu. Tak berapa lama berselang, engkau keluar sambil membawa dua buah
es krim di masing-masing tanganmu. Kulihat engkau tersenyum sangat
manis. Jalanmu begitu anggun.

  Tiba-tiba, sebuah mobil melaju dengan sangat kencang. Tanpa ampun,
menabrak tubuh indahmu. Aku segera berlari menghampirimu. Darah
menetes deras dari tubuhmu. Memerah di putih bajumu. Kuangkat engkau.
Kudekap kepalamu dan kuciumi wajah pucatmu. Hatiku serasa dirajam.
Allah....

  “Kakak… aku sangat mencintaimu. Maafkan aku….” engkau berkata
dengan suara yang sangat lemah, hampir tak terdengar. Engkau
tersenyum, begitu damai. Perlahan kau pejamkan matamu.

  Aku tak mampu berkata-kata. Kuperiksa nadimu. Berhenti! Begitu juga
dengan bumi yang aku pijak. Semua seperti berhenti.  Angin menjadi
diam. Langit pun menggelap dan tiba-tiba runtuh di atasku.

  “Innalillahi wa inna illaihi raji’un….” jiwaku serasa turut
melayang, mengunci waktu.

  "Adeeeeeeeeeekkk...!"

~~@~~

  Suara adzan membuyarkan lamunanku. Matahari telah tepat di atas
kepala. Matahari yang sama, yang menyinari hari-hariku ketika
bersamamu.

  Allah, betapa cinta ini telah mengakar dalam hatiku. Menggema
hingga ke lorong-lorong jiwaku. Aku sangat mencintainya, Rabb…. Ku
bersyukur telah Engkau perkenankan aku hidup bersamanya. Inilah jalan
takdir yang harus aku lalui. Kutahu ini adalah ujian bagiku. Ujian
atas sebentuk cinta yang kurasa. Kecintaanku padanya adalah jalan tuk
meraih cinta-Mu. Begitu juga ketika kuharus kehilangannya.
Keikhlasanku tuk melepasnya adalah bentuk terbesar indah cintaku
padanya dan ketaatanku sebagai hamba.

  Bantu hamba ya Rabb… tabahkan hati yang rapuh ini. Penuhi jiwa
hamba dengan ikhlas yang tak terbatas. Dan ijinkanlah cinta ini tetap
bersemayam di kalbu hamba, cinta yang kan terbungkus dengan indah
sebagai hadiah untuknya kelak.

~~@~~


  Kuselesaikan bacaan terakhir surat ar Rahman. Surat yang paling
engkau suka. Telah beberapa kali kuusap buliran air mata yang menetes
di pipiku. Sedari tadi dadaku terasa sesak dan tenggorokanku seperti
tercekat tiap kali aku membaca, "Fabiayyi ala i rabbikuma tukadziban."
Mengingatkan betapa lalainya diri ini, teramat sedikit syukur yang
terucap padahal begitu banyak nikmat yang telah aku kecap. Terbayang
dirimu juga syahdu suaramu kala engkau melantunkannya.



  Kututup al Qur'anku. Kucium penuh takzim dan kuletakkan di
tempatnya. Biasanya pada jam-jam seperti ini kita masih bercengkerama
dalam tadarus malam. Memperhatikan bacaan dan hafalanmu. Sesekali jika
ada yang keliru, dengan cekatan aku mencubit hidung mungilmu. Kau akan
tersenyum manis, mengerti dengan isyaratku.



  Aku segera beranjak dari mushala. Kulangkahkan kaki keluar dari
ruangan 3 x 4 meter ini. Hembusan angin sejuk menyentuh pipiku. Begitu
lembut seperti sentuhan jemarimu yang membelaiku. Uuuugggghhh! Aku
sangat merindukanmu, Adek....



  Sambil menunggu subuh biasanya kita duduk di bangku ini. Kau
sandarkan kepalamu di pundakku. Kulingkarkan tangan ke tubuhmu seraya
kubelai lembut lenganmu hingga dingin angin tak sedikit pun
mengganggumu. Berdua kita nikmati indah langit yang menjadi atap
terindah bagi halaman belakang rumah kita.



  Masih teringat ketika kau katakan,"Inilah surgaku, Kakak. Tinggal
bersamamu dalam istana kecil kita."  Terpancar binar bahagia dari raut
wajah manismu.



  Kupandangi kerlip gemintang di langit. Terlihat satu bintang yang
paling mempesona. Anganku mengangkasa. Teringat akan sajakmu sebulan
yang lalu.



Someday

Somewhere

Somehow

If you are alone and i'm not there beside you

Don't be disappointed

Don't be angry

Just look at the stars in the sky

U'll see the one bright and smiley

That's me!



Someday

Somewhere

Somehow

If i hurt you and must go away

Don't be disappointed

Don't be angry

Don't throw away all about me and all of our sweet memories

Please remember me....

 [Lovely Rain]



  Mataku memanas, tanganku bergetar. Gemuruh di dada tiba-tiba
menghantam. Semakin lama aku terpejam, sosokmu makin kuat membayang.
"Allah.... Ampuni hamba. Bukan hamba tak rela dengan kepergiannya.
Semua ini begitu tiba-tiba. Engkau tahu hati ini sangat mencintanya.
Bantu hamba ya Rabb...."



  Pandanganku terasa memburam. Gemulai daun-daun palem yang tertiup
angin seperti lambaian selamat tinggal. Sayup-sayup kudengar suara
adzan subuh. Ada gelombang kedamaian yang merambat perlahan mengaliri
nadiku, menggulung ombak galau ketidakberdayaanku....



[by: Lovely Rain]